Kemarin 4 Oktober 2014, di Harian Kompas ada sebuah opini
menarik yang ditulis Joice Tauris Santi mengenai pariwisata di Indonesia. Dalam
tulisan tersebut digambarkan pariwisata Indonesia itu hanya Bali dan
Yogyakarta. Hal ini tentunya kontradiktif dengan fakta yang ada, Indonesia itu
adalah negara yang kaya akan Kekayaan baik alam atau budaya. Banyak sekali yang
belum d eksplorasi dari Indonesia jika hanya dua itu saja.
Indonesianya itu kaya, Indonesia itu luar biasa. Sepertinya
saya masih kurang setuju bila dikatakan pesona Indonesia belum terdengar ke
telinga-telinga wisatawan mancanegara. Tapi nyatanya memang serius, contohya
Taman Nasional Bunaken yang selama ini jadi ikonik wisatawa bawah laut terbaik
Indonesia yang masuk Segitiga Karang
dunia tidak masuk banyak sampahnya dan tidak masuk 10 besar pariwisata terbaik
Indonesia oleh Menteri Pariwisata (Antaranews.com, 2016) dan selain itu pada
perhelatan Festival Danau Toba 2015 dikatakan kurang promosi (Antaranews.com).
Bagaimana dengan wisata lain yang lebih kecil daripada Danau Toba yang pernah
masuk 7 Keajaiban Dunia.
Pariwisata Indonesia harus digarap serius, perlu
pengembangan dan perlu kebijakan yang lebih baik yang dicetuskan oleh
pemerintah. Apabila kita hanya mengandalkan pada destinasi yang sudah terkenal
dulu-dulunya lama-lama pariwisata kita akan sepi. Wisata-wisata lokal perlu juga dikembangkan. Indonesia tidak
sesempit tu sehingga hanya membatasi pada Bali dan Jogjakarta ditambah lagi
dengan wisata lain yang sudah terkenal seperti Raja Ampat, Danau Toba, Gunung
Bromo, Kawah Ijen dan lainnya. Perlu benih-benih wisata lokal dikembangkan
dengan baik, kan rugi kalau tidak dimanfaatkan. Apalagi bantuan sosmed dan blogging bisa meningkatkan promosi
pariwisata Indonesia.
Umbul Ponggok mungkin beberapa orang sudah viral di medsos
utamanya instagram yang letaknya di Klaten. Potensi wisata disana sebenarnya
cukup sederhana yaitu kolam yang terbentuk akibat sumber air yang keluar dari
dalam bawah tanah seperti Sumber Maron di Malang atau Umbul Pajangan yang
mungkin masih kalah dengan Umbul Ponggok yang intinya sama Mata Air Alami yang
membentuk kolam.
Bukti bahwa pariwisata lokal masih belum dikembangkan,
berkaca pada Lampung Krakatau Festival pada akhir Agustus ini yang mendapat
banyak kritikan. Tujuan awalnya dari menyejahterakan masyarakat dan memajukan
pariwisata disana tersebut melenceng, tapi ternyata pesertanya hanya dilingkupi
oleh wartawan, blogger dan pejabat dinas setempat, walaupun ditambah beberapa
tokoh lagi. Festival ini bahkan diangkap sebagai ceremonial saja karena pesertanya cukup eksklusif itu-itu saja,
contohnya ada warga yang ingin ikut kegiatan mengunjungi Anak Gunung Krakatau
tidak dibolehkan (Antaralampung.com, 2016). Hal ini membuktikan kurang
seriusnya pengembangan pariwisata lokal.
Selain kurang serius dalam pengelolaan, Akses merupakan hal penting
bagi wisatawan. Akses adalah hal utama dari pariwisata seperti Pulau Bali yang
aksesnya sangat mudah dengan infrastruktur memadai tentunya tidak bisa
disamakan dengan Pulau Karimun Jawa, Pulau Bawean, Pulau Derawan bahkan Raja
Ampat. Bali adalah surga wisata alam, budaya bahkan olahraga seperti selancar.
Akses merupakan pintu pengembangan pariwisata, tanpa akses yang baik wisatawan
enggan masuk kesitu. Akses tidak sekedar fisik saja, regulasi wisatawan
mancanegara contohnya bebas visa mampu mendorong wisatawan datang ke Indonesia
yang saat ini mulai dilakukan.
Selanjutnya, fasilitas diantaranya Hotel, Restoran, Tempat
Hiburan dan lainnya adalah faktor tak kalah penting. Fasilitas membuat nyaman
wisatawan, semakin baik maka wisatawan semakin betah di sana. Kita harus peka
menerka-nerka apa yang diinginkan wisatawan selama tidak melanggar hukum.
Kebijakan Bali tanpa alkohol diisukan membuat wisata di Bali terancam, pasalnya
banyak wisatawan mancanegara yang mengeluhkan hal tersebut. Sederhana tapi berdampak
serius, itulah fasilitas yang digunakan untuk memanjakan wisatawan.
Kembali pada pengembangan pariwisata lokal, media promosi
perlu digembor-gemborkan lewat media manapun. Semakin menarik promosinya
semakin bagus, pameran dan festival bisa jadi ajang penentu menarik wisatawan.
Apabila memilih festival pastikan informasi disebar jauh-jauh hari berdasarkan
jauhnya sasaran jangan sampai seperti Festival Danau Toba 2016 yang tidak ada
turis mancanegara karena promosi hanya seminggu seperti di Harian Kompas 5
September 2016, yang harusnya promosi minimal untuk turis asia dan setidaknya
setahun untuk eropa.
Regulasi wisata uatamanya di daerah cukup rumit bahkan sampai
ada yang dipenjarakan gara-gara dituduh pengelolaan illegal atas wisata
tersebut. Perhutani selaku penanggungjawab hutan, air terjun dan pantai
utamanya sering konflik dengan masyarakat. Di Kabupaten Malang contohnya adalah
Clungup Mangrove Conservation sebelum resmi kerjasama dengan Perhutani pengurus
sempat dipenjarakan dan uang kas disita semua begitu juga di Bowele, Tirtoyudo,
Kab. Malang juga mengalami hal serupa.
Kerjasama dengan Perhutani itu rumit juga, prosentase yang
diambil dari usaha bisa mencapai 50% dari total pendapatan. Selain itu,
permasalahan lain bagi pengelola adalah jangka kerjasama yang hanya satu tahun
membuat pengelola cemas. Cepatnya jangka kerjasama ini membuat pengelola
khawatir saat wisata sudah baik, Perhutani mengambil alih jerih payah yang
sudah dibangun selama bertahun-tahun.
Di lain pihak, sesungguhnya Perhutani sendiri belum bisa
dikatakan siap untuk pengelolaannya. Bisa dilihat wisata yang dikelola
Perhutani hanya itu-itu saja penampilannya. Apabila pantai ya lihat pantai
saja, air terjun juga tidak ada variasi. Jika dikelola oleh pihak lain justru
lebih berkembang seperti Clungup Mangrove Conservation, Songa Adventure dan
lainnya. Perhutani sebaiknya membuka diri agar pariwisata Indonesia berkembang
dan menjadi lebih baik.