Jumat, 07 Oktober 2016

Pariwisata Lokal Indonesia Perlu Berbenah dan Strategi yang Lebih Baik



Kemarin 4 Oktober 2014, di Harian Kompas ada sebuah opini menarik yang ditulis Joice Tauris Santi mengenai pariwisata di Indonesia. Dalam tulisan tersebut digambarkan pariwisata Indonesia itu hanya Bali dan Yogyakarta. Hal ini tentunya kontradiktif dengan fakta yang ada, Indonesia itu adalah negara yang kaya akan Kekayaan baik alam atau budaya. Banyak sekali yang belum d eksplorasi dari Indonesia jika hanya dua itu saja.

Indonesianya itu kaya, Indonesia itu luar biasa. Sepertinya saya masih kurang setuju bila dikatakan pesona Indonesia belum terdengar ke telinga-telinga wisatawan mancanegara. Tapi nyatanya memang serius, contohya Taman Nasional Bunaken yang selama ini jadi ikonik wisatawa bawah laut terbaik Indonesia yang masuk  Segitiga Karang dunia tidak masuk banyak sampahnya dan tidak masuk 10 besar pariwisata terbaik Indonesia oleh Menteri Pariwisata (Antaranews.com, 2016) dan selain itu pada perhelatan Festival Danau Toba 2015 dikatakan kurang promosi (Antaranews.com). Bagaimana dengan wisata lain yang lebih kecil daripada Danau Toba yang pernah masuk 7 Keajaiban Dunia.
Pariwisata Indonesia harus digarap serius, perlu pengembangan dan perlu kebijakan yang lebih baik yang dicetuskan oleh pemerintah. Apabila kita hanya mengandalkan pada destinasi yang sudah terkenal dulu-dulunya lama-lama pariwisata kita akan sepi. Wisata-wisata lokal  perlu juga dikembangkan. Indonesia tidak sesempit tu sehingga hanya membatasi pada Bali dan Jogjakarta ditambah lagi dengan wisata lain yang sudah terkenal seperti Raja Ampat, Danau Toba, Gunung Bromo, Kawah Ijen dan lainnya. Perlu benih-benih wisata lokal dikembangkan dengan baik, kan rugi kalau tidak dimanfaatkan. Apalagi bantuan sosmed dan blogging bisa meningkatkan promosi pariwisata Indonesia.   

Umbul Ponggok mungkin beberapa orang sudah viral di medsos utamanya instagram yang letaknya di Klaten. Potensi wisata disana sebenarnya cukup sederhana yaitu kolam yang terbentuk akibat sumber air yang keluar dari dalam bawah tanah seperti Sumber Maron di Malang atau Umbul Pajangan yang mungkin masih kalah dengan Umbul Ponggok yang intinya sama Mata Air Alami yang membentuk kolam.

Bukti bahwa pariwisata lokal masih belum dikembangkan, berkaca pada Lampung Krakatau Festival pada akhir Agustus ini yang mendapat banyak kritikan. Tujuan awalnya dari menyejahterakan masyarakat dan memajukan pariwisata disana tersebut melenceng, tapi ternyata pesertanya hanya dilingkupi oleh wartawan, blogger dan pejabat dinas setempat, walaupun ditambah beberapa tokoh lagi. Festival ini bahkan diangkap sebagai ceremonial saja karena pesertanya cukup eksklusif itu-itu saja, contohnya ada warga yang ingin ikut kegiatan mengunjungi Anak Gunung Krakatau tidak dibolehkan (Antaralampung.com, 2016). Hal ini membuktikan kurang seriusnya pengembangan pariwisata lokal.

Selain kurang serius dalam pengelolaan, Akses merupakan hal penting bagi wisatawan. Akses adalah hal utama dari pariwisata seperti Pulau Bali yang aksesnya sangat mudah dengan infrastruktur memadai tentunya tidak bisa disamakan dengan Pulau Karimun Jawa, Pulau Bawean, Pulau Derawan bahkan Raja Ampat. Bali adalah surga wisata alam, budaya bahkan olahraga seperti selancar. Akses merupakan pintu pengembangan pariwisata, tanpa akses yang baik wisatawan enggan masuk kesitu. Akses tidak sekedar fisik saja, regulasi wisatawan mancanegara contohnya bebas visa mampu mendorong wisatawan datang ke Indonesia yang saat ini mulai dilakukan.

Selanjutnya, fasilitas diantaranya Hotel, Restoran, Tempat Hiburan dan lainnya adalah faktor tak kalah penting. Fasilitas membuat nyaman wisatawan, semakin baik maka wisatawan semakin betah di sana. Kita harus peka menerka-nerka apa yang diinginkan wisatawan selama tidak melanggar hukum. Kebijakan Bali tanpa alkohol diisukan membuat wisata di Bali terancam, pasalnya banyak wisatawan mancanegara yang mengeluhkan hal tersebut. Sederhana tapi berdampak serius, itulah fasilitas yang digunakan untuk memanjakan wisatawan.

Kembali pada pengembangan pariwisata lokal, media promosi perlu digembor-gemborkan lewat media manapun. Semakin menarik promosinya semakin bagus, pameran dan festival bisa jadi ajang penentu menarik wisatawan. Apabila memilih festival pastikan informasi disebar jauh-jauh hari berdasarkan jauhnya sasaran jangan sampai seperti Festival Danau Toba 2016 yang tidak ada turis mancanegara karena promosi hanya seminggu seperti di Harian Kompas 5 September 2016, yang harusnya promosi minimal untuk turis asia dan setidaknya setahun untuk eropa.

Regulasi wisata uatamanya di daerah cukup rumit bahkan sampai ada yang dipenjarakan gara-gara dituduh pengelolaan illegal atas wisata tersebut. Perhutani selaku penanggungjawab hutan, air terjun dan pantai utamanya sering konflik dengan masyarakat. Di Kabupaten Malang contohnya adalah Clungup Mangrove Conservation sebelum resmi kerjasama dengan Perhutani pengurus sempat dipenjarakan dan uang kas disita semua begitu juga di Bowele, Tirtoyudo, Kab. Malang juga mengalami hal serupa.

Kerjasama dengan Perhutani itu rumit juga, prosentase yang diambil dari usaha bisa mencapai 50% dari total pendapatan. Selain itu, permasalahan lain bagi pengelola adalah jangka kerjasama yang hanya satu tahun membuat pengelola cemas. Cepatnya jangka kerjasama ini membuat pengelola khawatir saat wisata sudah baik, Perhutani mengambil alih jerih payah yang sudah dibangun selama bertahun-tahun.

Di lain pihak, sesungguhnya Perhutani sendiri belum bisa dikatakan siap untuk pengelolaannya. Bisa dilihat wisata yang dikelola Perhutani hanya itu-itu saja penampilannya. Apabila pantai ya lihat pantai saja, air terjun juga tidak ada variasi. Jika dikelola oleh pihak lain justru lebih berkembang seperti Clungup Mangrove Conservation, Songa Adventure dan lainnya. Perhutani sebaiknya membuka diri agar pariwisata Indonesia berkembang dan menjadi lebih baik.